Hak Berekspresi (dan Beropini)

Ini opini personal gue tentang hak yang kerap mengundang kontroversi. Mungkin lebih mengarah pada penjelasan tentang postingan sebelumnya.

Jadi, begini. Seberapa sering lo berbincang dengan teman, lalu terjadi konflik. Kalian masing-masing tanpa sadar mulai berubah defensif. Membela apa yang kalian anggap benar. Atau ideal. Atau keduanya. Lalu… muncul kalimat “Terserah gue, dong, mau ngomong/percaya/berbuat apa! Kan ini hidup gue!” sebagai penanda sang penutur sudah mulai lelah atau frustasi. Terkadang tak harus dimulai dari pembicaraan. Bisa saja si teman itu meminta opini tentang sesuatu, lalu malah membela diri terhadap segala komentar dan kritik yang dianggapnya menunjukkan kelemahannya.

Kalian yang pernah melakukan hal tersebut… bertobatlah!

Gue sudah cukup banyak (tak terlalu sering, tapi memang sejak dulu gue suka mengkritik, haha) mengalami hal ini. Menyebalkan, bukan? Orang yang jujur akan memberikan pendapat apa adanya. Baik atau buruk. Mungkin akan diberi sedikit pemanis, kata-katanya diperhalus, tetapi kejujuran itu sendiri akan tetap ada.

Lalu ada mereka yang akan memotong kalimat lo dan menjelaskan bahwa lo nggak mengerti “visi” mereka. Oh, astaga.

Bedakan meminta saran, pengakuan, dan pembenaran.

Mereka yang benar-benar meminta saran akan benar-benar mendengarkan apa saja yang dikatakan. Walau pada akhirnya tak dilaksanakan, opsi-opsi perubahan akan ditimbang, sesingkat apapun waktu pertimbangan itu. Setidaknya kalimat-kalimat lo akan didengarkan. Kalaupun ada yang dikatakan kembali, sifatnya hanya penjelasan. Pemastian bahwa tak ada kesalahpahaman.

Pengakuan bersifat layaknya pertanyaan tertutup. Formatnya adalah “(pertanyaan), kan?” dan belum ditambah tatapan yang seolah-olah membuat jawaban satu-satunya adalah jawaban yang mengiyakan. Jika si penanya kecewa responnya mungkin sekedar “oh” atau bisa saja penyelidikan alasan di balik jawaban kita.

Mereka yang mencari pembenaran menuntut lebih banyak lagi. Tak sekedar anggukkan, kalau bisa disertai komentar yang mendukung mereka.  Orang-orang ini yang akan menjawab semua perbedaan pendapat dengan, “Lho, tapi, kan….”

Sesungguhnya, mereka berhak mengatakan apa yang mau mereka katakan. Itu opini mereka.

Sesungguhnya, kita berhak mengatakan apa yang kita ingin katakan. Itu hak kita.

Sesungguhnya, saat mereka memaksakan pendapat mereka pada kita, atau sebaliknya, hak beropini pihak yang ditekan sedang tidak diakui.

Mungkin dasarnya ego. Tentu kita senang apabila banyak orang setuju dengan kita, bahkan membela kita. Itu yang gue rasakan juga. Syahdan, sebaliknya berlaku. Jika orang mengambil posisi oposisi, bukankah kita seringkali merasa sebal? Tak selalu kasusnya, ada yang bisa berlapang dada. Terkadang opini lawan akan terlihat lebih baik. Bukan berarti opini kita salah. Mungkin kita hanya kurang menelaah pemikiran kita. Tak berarti ia salah pula.

Gue punya seorang beberapa teman yang punya kebiasaan. Entah baik atau buruk, tentukan saja sendiri. Ia terbuka pada opini tiap orang. Kau bebas mengatakan apa saja. Lalu ia akan mulai mengatakan opininya.

“Menurut gue, begini dan begini.”

Namun tak berhenti sampai situ. Ia akan melanjutkan penjelasannya hingga opini yang kini menjadi argumennya terlihat lebih baik, lebih pantas diminati. Lebih ideal. Pertunjukkan intelek. Dulu itu pun pernah gue geluti. Padahal, tak ada maksud khusus berdiskusi. Setelah sekian lama, gue pikir, “Ah! Apa gunanya berdebat dengan batu?”

Gue akui di antara orang-orang tersebut memang ada yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, dan lebih-lebih lainnya. Sayang ada yang lebih dari perlu bicaranya. Bro, gue ngerti maksud lo apa. Tapi gue ga setuju. TERIMA AJA!

Salah satu orang ini memiliki ciri spesifik. Kalau dia sudah mulai menjelaskan, dia nggak akan berhenti sampai lo menerima pendapatnya. Yang gue rasakan, dia mungkin merasa kalau kita benar-benar paham maksudnya, kita juga akan setuju dengannya. Tapi kadang gue hanya setuju setengah jalan. Lalu dia akan kembali mengoceh tentang maksudnya. Tentang bagaimana orang lain salah mengerti, atau kurang luas pola pikirnya, atau harus melihat dari sudut pandang lain.

Ada lagi yang idealis menurut standarnya. Ia akan mengkritisi segala yang tak bisa dilakukannya dan mencintai semua yang bisa dilakukannya. Bukankah (sebagian besar, kalau tak seluruh dari) kita begitu? Namun orang ini memaksakan opininya pada orang lain. Saat berpendapat lain dengannya, ia bisa marah-marah, walau tak benar-benar serius.

Sejujurnya gue masih belum bisa menemukan batas. Sampai titik mana pertemanan dengan orang seperti itu harus dipertahankan. Namun dari dua kasus di atas, saat gue “labrak”, si orang kedua reaksinya lebih baik. Ia mengangguk dan berhenti merongrong. Yang pertama? “Yah, pokoknya gue begini.”

Singkat cerita, gue putuskan menjaga jarak dari orang pertama. Cukup obrolan biasa. Jangan mengiyakan kalau tak setuju, cukup beri sinyal kalau gue mengerti omongannya.

Sebagai penutup dari ocehan berbentuk tulisan yang tiada kejelasan ini, gue lampirkan gambar yang menjadi salah satu motivasi utama gue mengubah diri ke arah yang lebih demokratis dan toleran saat menyangkut kebebasan beropini.

Have anything to type to this?